AKIBAT BERAGAMA TAMPA ILMU.
Dalam wasiat tersebut, Imam Syafi’i menjelaskan tentang resiko dan bahaya yang akan menimpa seorang penuntut ilmu apabila tidak berdasarkan kepada hujjah dalam mempelajari ilmu yaitu akan tersesat tanpa disadarinya.Semoga Alloh merahmati beliau. Apabila seseorang mempelajari ilmu syariat tanpa dasar al-Qur`an dan Hadits yang shohih, maka akhirnya adalah berupa penyimpangan, kekeliruan dan kesesatan. Di antara contohnya adalah:
1. Menyangka tauhid, padahal syirik.
Apabila tidak berdasarkan dalil dari Kitabulloh atau Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam menetapkan aqidah tauhidulloh , maka bisa saja meyakini bahwa suatu masalah adalah tauhid, padahal itu adalah kesyirikan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla , sedangkan Alloh telah berfirman:
٤٨ . ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠّﻪَ ﻻَ ﻳَﻐْﻔِﺮُ ﺃَﻥ ﻳُﺸْﺮَﻙَ ﺑِﻪِ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮُ ﻣَﺎ ﺩُﻭﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﻟِﻤَﻦ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﻭَﻣَﻦ ﻳُﺸْﺮِﻙْ ﺑِﺎﻟﻠّﻪِ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﻓْﺘَﺮَﻯ ﺇِﺛْﻤﺎً ﻋَﻈِﻴﻤﺎً
“ Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Alloh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an-Nisa`: 48)
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang bahayanya dalam Hadits berikut:
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲْ ﺑَﻜْﺮَﺓَ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴْﻪِ ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻨِﺒﻲ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓَﻘَﺎﻝَ : )) ﺃَﻻَ ﺃُﻧَﺒِﺌُﻜُﻢْ ﺑِﺄَﻛْﺒَﺮِ ﺍﻟْﻜَﺒَﺎﺋِﺮِ؟ (( ، ﺛَﻼَﺛًﺎ . ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ : ﺑَﻠَﻰ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : )) ﺍْﻹِﺷْﺮَﺍﻙُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ، ﻭَﻋُﻘُﻮْﻕُ ﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪَﻳْﻦِ (( .
Dari ‘Abdurrohman bin Abi Bakroh, dari bapaknya ia berkata: Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa-dosa besar yang paling besar?” Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam mengatakannya tiga kali. Mereka menjawab, “Ya, wahai Rosululloh!” Beliau berkata, “Menyekutukan Alloh dan durhaka kepada kedua orang tua.” (HR. Bukhori, no. 2564 dan Muslim, no. 87)
Demikian juga tentang para malaikat, kitab-kitabNya, keterangan tentang para Nabi dan Rosul, hari akhir, qodho` dan qodar , serta masalah-masalah aqidah yang lainnya. Dimungkinkan seorang penuntut ilmu –yang tidak meruju’ kepada dalil syar’i- meyakini suatu keyakinan yang bertentangan dengan dalil-dalil yang shohih yang ada.
2. Mengira sunnah, padahal bid’ah.
Apabila mempelajari perkara-perkara yang disyariatkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam akan tetapi tidak kembali kepada al-Qur`an dan Hadits yang shohih dari beliau
shollallohu ‘alaihi wa sallam, tetapi hanya perpegang kepada pendapat Imam Fulan dan Imam Fulan saja, maka bisa saja seseorang terjatuh dalam kebid’ahan, akan tetapi disangka termasuk sunnah Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau telah bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲْ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ .
“ Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini (yaitu perkara agama) apa yang tidak termasuk bagian darinya, maka hal itu tertolak. ” (HR. Bukhori, no. 2697 dan Muslim, 1718, sedangkan ini lafal al-Bukhori.)
Apabila keadaannya demikian, maka kerugianlah yang akan didapati.
3. Terjatuh ke dalam taklid yang terlarang.
Tatkala seorang penuntut ilmu mengikuti suatu pendapat di antara pendapat-pendapat ulama, akan tetapi tidak mengetahui dalil yang dijadikan sebagai landasannya, maka telah terjatuh ke dalam taklid yang terlarang.
Alloh telah berfirman:
٦٦ . ﻳَﻮْﻡَ ﺗُﻘَﻠَّﺐُ ﻭُﺟُﻮﻫُﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﻳَﺎ ﻟَﻴْﺘَﻨَﺎ ﺃَﻃَﻌْﻨَﺎ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺃَﻃَﻌْﻨَﺎ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻟَﺎ
٦٧ . ﻭَﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺇِﻧَّﺎ ﺃَﻃَﻌْﻨَﺎ ﺳَﺎﺩَﺗَﻨَﺎ ﻭَﻛُﺒَﺮَﺍﺀﻧَﺎ ﻓَﺄَﺿَﻠُّﻮﻧَﺎ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴﻠَﺎ
٦٨ . ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺁﺗِﻬِﻢْ ﺿِﻌْﻔَﻴْﻦِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌَﺬَﺍﺏِ ﻭَﺍﻟْﻌَﻨْﻬُﻢْ ﻟَﻌْﻨﺎً ﻛَﺒِﻴﺮﺍً
“ Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Alloh dan taat (pula) kepada Rosul.” Dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (QS. al-Ahzab: 66-68)
Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i menjelaskan bahwa Thowus berkata:
ﺳَﺎﺩَﺗَﻨَﺎ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺍْﻷَﺷْﺮَﺍﻑَ، ﻭَﻛُﺒَﺮَﺍﺀَﻧَﺎ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀَ
.
“Pemuka-pemuka kami yaitu orang-orang mulia di antara kami, dan pembesar-pembesar kami yaitu para ulama.”
Kemudian beliau mengomentari atsar tersebut, “Maksudnya adalah kami telah mengikuti para pemuka yaitu para pemimpin dan orang-orang besar dari kalangan para syaikh dan kami telah menyelisihi para Rosul. Kami dahulu telah berkeyakinan bahwa mereka memiliki sesuatu (kebenaran, pen. ) dan mereka di atas sesuatu (kebenaran, pen. ), ternyata mereka tidak berada di atas sesuatu (kebenaran,
pen. ).” ( Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim , jilid 11, hal. 245, di-tahqiq (diteliti) oleh beberapa pen-tahqiq.)
Al-Hajjaj bin Amr dahulu apabila bertemu, berkata, “Wahai sekalian orang Anshor, apakah kalian ingin mengatakan kepada Robb apabila kita menghadapNya, “Ya Robb, sesungguhnya kami dahulu telah mengikuti para pemuka dan pembesar kami, maka merekapun menyesatkan kami. Ya Robb kami, berikanlah kepada mereka dua kali lipat adzab dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.”” ( Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim , hal. 246)
Selain itu, Imam Syafi’i juga telah melarang bertaklid kepada beliau dalam mutiaranya:
ﻛُﻞُ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ – ﻓَﻜَﺎﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧِﻼَﻑُ ﻗَﻮْﻟِﻲْ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﺼِﺢ – ﻓَﺤَﺪِﻳْﺚُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺃَﻭْﻟَﻰ، ﻓَﻼَ ﺗُﻘَﻠِّﺪُﻭْﻧِﻲْ .
“ Segala perkataanku, apabila apa yang shohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menyelisihi perkataanku, maka Hadits Nabi itulah yang lebih pantas untuk diikuti. Janganlah kalian bertaklid kepadaku. ” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dan sanadnya dishohihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Shifat ash-Sholah , hal. 52.)
4. Menyangka suatu amalan mengandung keutamaan, padahal terdapat penyimpangan.
Tatkala dalil syar’i ditinggalkan dalam mempelajari ilmu syar’i , maka seseorang akan memperhatikan dan mengagungkan suatu amalan yang disangka mengandung keutamaan, padahal amalan tersebut menyimpang.
Imam Nawawi telah menyatakan:
ﻟَﻴْﺲَ ﻳَﻜْﻔِﻲْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ ﺻُﻮَﺭُ ﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺎﺕِ، ﺑَﻞْ ﻻَ ﺑُﺪَّ ﻣِﻦْ ﻛَﻮْﻧِﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻭِﻓْﻖِ ﺍﻟْﻘَﻮَﺍﻋِﺪِ ﺍﻟﺸَّﺮْﻋِﻴَّﺎﺕِ .
“ Dalam melakukan ibadah-ibadah, tidaklah cukup hanya dengan bentuk-bentuk ketaatan, akan tetapi harus sesuai dengan kaidah-kaidah syariat. ” ( Muqoddimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1, hal. 3, tahqiq Dr. Mahmud Mathroji, Darul Fikr, cet. 1, 1417 H, Beirut)
5. Apabila mendakwahkan kesesatan, maka akan menyesatkan.
Apabila perkara-perkara yang termasuk syirik, atau kekufuran atau kebid’ahan atau penyimpangan-penyimpangan syariat disampaikan kepada orang lain, maka orang yang menyampaikan ilmu syar’i tanpa dalil tersebut akan menjadi penyesat bagi orang lain.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻻَ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋًﺎ ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ، ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ، ﺣَﺘَﻰ ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ، ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺭُﺅُﻭْﺳًﺎ ﺟُﻬَّﻼَﺀَ، ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮْﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ، ﻓَﻀَﻠُّﻮْﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮْﺍ .
“ Sesungguhnya Alloh tidak mencabut ilmu itu dengan mencabutnya dari hamba-hambaNya, akan tetapi mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sampai apabila tidak tersisa satu orang alimpun, maka manusia akan mengangkat para pemimpin atau penguasa yang jahil (bodoh-bodoh), lalu mereka ditanya, lalu mereka berfatwa tanpa didasari dengan ilmu, maka merekapun tersesat dan menyesatkan (orang lain). ” (HR. Bukhori, no. 100, 7308 dan Muslim, no. 2673)
Al-Hafidh Ibnu Hajar asy-Syafi’i mengatakan, “Dalam Hadits ini terdapat (penjelasan) bahwa berfatwa adalah kepemimpinan yang hakiki
dan celaan bagi yang melakukannya tanpa ilmu .” (Fath al-Bari , I/258 Darus Salam, Riyadh, cet. 1, 1421/2000M)
0 comments:
Post a Comment